Siti dan Dialog Sederhana

1:43 AM

Beberapa waktu lalu gue beruntung bisa nonton film Siti dengan suasana khidmat dan khusyuk. Hanya 6 orang di dalam bioskop termasuk gue dan temen gue. Plusnya mungkin gue bisa nonton dengan tenang tanpa banyak gangguan sana-sini, tapi minusnya, gue ngerasa kalo film semegah Siti justru gak dihargain di negeri sendiri. Pedih sih. 

Mari kita bahas Siti dan suasana pasca menontonnya.

Siti dibalut dengan gambar monokrom gaya klasik. Gue sendiri gak tau apa tujuan Mas Eddie membuat film ini tampak hitam-putih ditambah dengan aspect rationya yang 4:3. Yang gue tangkep sih film ini dibuat sesederhana mungkin, seperti warna dasar yang ada yaitu hitam dan putih. Kita gak perlu tau warna sebenarnya yang ada di film tersebut, yang perlu kita tau cuma suasana, ekspresi, dan dialog yang ada. Bagi gue hitam putih adalah kunci utama dari kesederhanaan Siti. 

Meluncur ke cerita.

Siti adalah perpaduan manis antara kesetiaan dan pengorbanan cinta. Tanpa klise yang menjijikan, Siti berhasil membuat kita percaya bahwa realita kerasnya hidup itu bisa diceritakan dengan mudah. Film ini ngajarin gue kalo berjuang itu harus ngelihat apa yang diperjuangkan, jangan jadi mata kuda yang cuma maju tapi gak liat kanan kiri. Gimana kalo selama ini orang yang kita perjuangkan ternyata tak perduli, namun justru menunggu kita sampai lelah? Gimana tuh? 

Pesan yang diutarakan Siti pun berhasil menancap di otak.

Ada dialog seperti ini.

"Tuhan itu tidak tidur nak."
"Iya, tapi lagi piknik."

Dialog ini berhasil menunjukkan karakter Siti yang penuh permasalahan hanya dengan satu baris kalimat. Jujur gue suka dengan kalimat ini. Siti terlihat lelah dengan hidup, yang ia bisa cuma berjuang pelan-pelan.

Dari segi teknis sih Siti ini seperti film indie. Ada banyak shot dan ekperimen yang gak biasa kita lihat di film komersil. One take shot dengan komposisi sederhana adalah bentuk kejujuran Siti yang coba diceritakan secara implisit. Sekali lagi, film ini terasa sangat alami dan sederhana.

Tak berhenti di Siti, usai menontonnya gue lalu diajarkan tentang kesederhanaan dari cara lain.

Part di bawah ini gue tulis setelah membaca tulisan lo secara kebetulan hehe.

Setelah menonton Siti, gue dan temen gue membahas film ini secara detail dan menyeluruh. Kenapa karakter ini, dan karakter itu bisa gini bla bla bla. Gimana jadinya kalo bla bla bla. Banyak deh. Intinya kita berpendapat soal film ini dengan sudut pandang masing-masing.

Temen gue ini lalu punya ide. Gue diajak untuk mereview film Siti

Gue pun menjawab iya.

Tapi karena gue ngerasa gak jago dan kurang kritis, gue juga bilang kalo gue gak punya kredibilitas untuk menulis review Siti.

Jawaban gue soal kredibilitas ini sebenarnya cuma basa-basi elegan, tapi ternyata dianggap serius. hehe. Gue terlihat sangat mementingkan kualitas tulisan yang bakal dipublikasikan lewat blog ajaib ini. 

Mungkin ketika menjawab itu gue sedang berpikir soal minimnya ilmu gue tentang dunia film. Tapi jujur, gue gak begitu mempermasalahkan kredibilitas gue dalam ngereview film. Toh siapa sih yang kenal gue haha. 

Yang coba gue lakukan saat obrolan itu cuma memancing dialog yang lebih seru tanpa terlalu dianggap serius. Mungkin jadinya salah, tapi gue tetep mau nulis review Siti. Gue rasa kita cuma salah menangkap kalimat masing-masing. Itu aja.

Gue suka pendapat lo soal kita yang menua dan terlalu serius.
Gue, lo, kita ini kurang piknik.
Basa-basi yang dulunya sederhana, sekarang bisa jadi pertimbangan serius hehe.

Setelah menonton Siti, kita justru lupa satu hal penting.

Kita lupa bagaimana cara membangun dialog dan sikap yang sederhana.

Note: terima kasih telah mengingatkan gue tentang arti menulis. :)

You Might Also Like

0 comments