Kapsul Waktu A Copy of My Mind

10:19 PM


Setelah diputar di berbagai festival ternama dunia, gue sangat tertarik untuk menonton film terbaru dari Joko Anwar ini.

A Copy of My Mind

Kesempatan untuk menonton film ini sebenernya udah ada sejak acara JAFF 2015 kemarin. Tapi sayang, waktu yang kurang pas dan tiket yang sold out mengkandaskan niatan gue untuk menjadi sekumpulan orang pertama yang menonton ACOMM di Indonesia. But, it's okay, toh ACOMM juga bakal tayang di bioskop.

Setelah beberapa bulan, ACOMM akhirnya tayang di hampir seluruh bioskop Indonesia.

Antusiasme masyarakat akan film ini gue rasa cuma dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang paham festival film bergengsi di dunia. Dibanding London Love Story, jelas pasar ACOMM gak mampu untuk mencapai angka penonton sebanyak itu. ACOMM sendiri menempatkan filmnya seperti Siti, yang hanya bisa dicerna oleh sebagian orang kecil di Indonesia. Atau paling mentok, membeli tiket karena ada Chicco Jerikho dan disutradarai oleh Joko Anwar. That's it.

Asumsi sederhana gue terbukti. Dalam satu bioskop gue hanya nonton dengan 11 orang. 3 orang di antaranya adalah geng ibu-ibu yang selalu menjerit ketika adegan seks muncul di layar. Kejadian kayak gini cuma bisa lo rasain di bioskop. Andai gue membawa tombak saat itu.

Terus, gimana A Copy of My Mind?

Menurut gue bagus, tapi gak outstanding.

Yang gue rasain, A Copy of My Mind masih terlalu klise di beberapa bagian. Pembagian cerita dan konflik yang ada pun dibuat dengan porsi yang kurang pas. ACOMM lebih mengeksploitasi adegan mesra Alek dan Sari ketimbang menggali konflik CD rahasia itu. Gue jujur kurang puas dengan penyajian konflik yang gak maksimal, karena ketika nonton film ini yang gue nikmati hanya seperempat awal dan akhir menuju klimaks. Kalo gak salah, Joko Anwar bakal bikin 2 sekuel film ini. Bisa jadi itu alasan kenapa permasalahan dan konflik yang disampein gak utuh. But, I think the story could get better, sir.

Jika menonton ini hanya memperhatikan kisah cinta Alek dan Sari, maka gue rasa lo terlewat bagian penting ACOMM. Joko pernah bilang kalau ACOMM dibuat sebagai kapsul waktu dalam bentuk film. Dia pengen menggambarkan Jakarta saat ini untuk bisa dinikmati di masa depan. He nailed it. Dia menyisipkan begitu banyak gambar hiruk pikuknya kota Jakarta sebagai transisi ataupun penguat cerita film ini. Konsep menarik dan sangat 'merakyat'.

Bisa gue bilang ACOMM adalah perpaduan asoy antara gambar dokumenter dan cerita fiksi. Kalo kamera yang dipakai bung Ical Tanjung buat ngerekam adegan adalah handycam biasa, gue rasa kita semua bakal percaya kalau film ini adalah dokumenter drama. Gambar handheld yang mendominasi ACOMM sebenarnya sih fine-fine aja. Tapi di beberapa bagian banyak yang terlihat terlalu 'sederhana.' I mean gambar handheld juga bisa diperhalus dan lebih kreatif dalam movement camera nya. A Separation mungkin bisa dijadikan pembanding.

Gue selalu suka adegan panjang yang tak pakai reverse shot. Alami dan murni rasanya. Kalo lo tanya adegan mana yang paling terlihat natural dan bersih di ACOMM, gue pilih adegan interview Pak Bandi dan Sari. That's the best script and the pure acting from both of actors. Keren lah.

Secara garis besar ACOMM adalah film yang pantas untuk ditonton di bioskop. Kenapa gue bilang gini? Karena kesempatan untuk menonton film bergenre ini gak sering muncul di bioskop Indonesia.

Tahun-tahun ini masih banyak film yang mencatut nama kota yang dianggap keren di dunia atau frasa berunsur religi islami.

I am sick of it, man!

 If I could rate, this movie is 3/5.

You Might Also Like

0 comments