La La Land dan Kekecewaan yang Hakiki

11:27 PM

Ketakjuban La La Land

Sebagai penikmat film, gue selalu merekomendasikan La La Land ke semua teman atau kerabat dekat yang gue miliki. Bukan maksud menyombongkan diri kalo gue udah nonton La La Land, tapi mengenalkan film ini ke orang lain bisa menyuplai endorfin ke dalam badan gue. La La Land punya unsur magis dalam sinema yang bisa membuat kita semua bahagia. Cinema experience yang mungkin akan susah lo temui di beberapa tahun atau bahkan dekade kedepan.

Tapi namanya juga taste, kita gak bisa pukul rata ke semua orang. Film punya banyak unsur yang bisa membuat penontonnya jatuh cinta. Bisa jadi soal cerita, teknis, pemain, atau pengalaman personal yang dekat. Bagi gue. La La Land begitu menakjubkan karena semua elemen film sebagai media hiburan dan alat penyalur budaya tercukupi dan dikemas sempurna. Secara pribadi gue gak masalah kalau ada yang gak suka, tapi kalau ada yang benci, gue siap membela sekuat tenaga.

Aneh rasanya kalo ada yang benci film ini. Tapi kalopun ada, mungkin karena dia adalah die-hard fans Moonlight berkacamata kuda.

Moonlight dan Keintiman Cerita

Karena Moonlight gak ditayangin di bioskop Indonesia, gue cuma bisa nonton film ini melalui situs streaming ilegal tak berbayar. Jelas pengalaman menontonnya beda kalau dibandingin sama La La Land. Tapi secara kualitas memang Moonlight ini film yang didesain untuk didiskusikan dan membawa pesan penting. Gak kayak La La Land yang kalo diperhatikan mirip cerita FTV, sih. Menurut gue faktor utama keberhasilan Moonlight selain Mahershala Ali adalah Barry Jenkins, sang 'sutradara cerdas'.

Jenkins dengan jelas mengakui bahwa dia menjadikan Wong Kar Wai sebagai salah satu sutradara yang mengilhaminya dalam membuat Moonlight. Ada banyak shot yang dibuat seperti film-film buatan Wong Kar Wai misal In The Mood For Love, Chunking Express, dan Days of being Wild. Hasilnya pun bagus banget. Visually great and beautiful. Tapi kalo ngebahas cerita, film ini bukan sesuatu yang bisa membuat gue jatuh cinta. Cukup jauh bahkan. Isu dan premisnya memang menarik, tapi kurang relevan dengan tempat kita tinggal yaitu Indonesia, yang tidak 'seintim' dan 'sebebas' di Amerika sana.

Maha Kesalahan Oscar

Kita semua tahu kalau Moonlight keluar sebagai film terbaik Oscar 2017 yang baru digelar beberapa waktu lalu. Namun yang jadi menarik ternyata bukannya kemenangan Moonlight, tapi proses kemenangan Moonlight itu sendiri.

Sedari awal, banyak penikmat film yang menduga kalau La La Land akan terpilih sebagai Best Picture, dan nyatanya itu terbukti benar, hingga akhirnya harus diralat dengan penuh kecanggungan.

Faye Dunaway, sang pembaca nominasi menyebut nama La La Land di tengah hening dan suasana ketegangan para penonton acara  ini di seluruh dunia. Gue tentu gembira, dan langsung mematikan televisi karena gue rasa speech mereka gak terlalu penting. Namun ternyata di luar dugaan, meninggalkan speech Jordan Horowitz tersebut jadi salah satu penyesalan gue hingga saat ini. La La Land tak jadi meraih Best Picture karena terjadi kesalahan pembacaan pemenang. Pihak PricewaterhouseCoopers, perusahaan yang mengurus voting dan pengumuman diketahui salah memberikan amplop ke Warren Beatty dan Faye Dunaway. Sebuah maha kesalahan yang tak terampuni.

Tapi menilik tempat diselenggarakannya Oscar, bukan hal yang aneh bagi Moonlight untuk mengalahkan La La Land sebagai Best Picture Oscar di tahun 2017 ini. Meski La La Land memegang 14 nominasi, nyatanya Moonlight lebih banyak dipilih oleh voters dan keluar sebagai juara. Asumsi sederhana gue bahwa kedekatan kultur dan isu sosial yang lagi hangat jadi faktor penting dalam keputusan ini. La La Land megah sebagai hiburan, namun minim kritik dan isu sosial. Berbeda dengan Moonlight yang terang-terangan membawa pesan tentang kebebasan orientasi seksual.

Kekecewaan yang Hakiki

Kemenangan Moonlight di atas La La Land yang begitu diagung-agungkan ini ternyata menimbulkan banyak reaksi. Banyak yang kecewa akan kekalahan La La Land, banyak juga yang heran dengan kesalahan pembacaan pemenang seperti yang dilakukan Steve Harvey di Miss Universe tahun lalu.

Bicara soal kecewa. Siapa yang sebenarnya kecewa?

Di antara banyak penggemarnya, gue adalah salah satu penonton La La Land yang kecewa. Ini adalah kedua kalinya gue kecewa setelah Boyhood diungguli oleh Birdman tahun 2015 lalu. And for your information, Boyhood is my personal best film to date.

Tapi, apakah filmmaker-nya merasa kecewa?

Mungkin iya, mungkin tidak. Toh mereka sudah diapresiasi dengan banyak penghargaan dan pundi-pundi uang. Tapi bukankah karya yang sudah dipublikasikan adalah 'milik' bersama? Kita bebas untuk merasa memiliki film tersebut sebagai penonton yang larut ke dalam unsur personal film. Yang mungkin membuat kecewa Damien Chazelle dan Jordan Horowitz adalah kemenangan semu yang dirasakan para penonton film La La Land, sama seperti kisah cinta Sebastian dan Mia yang mereka buat.

Tidak jadinya La La Land sebagai Best Picture di Oscar membawa gue berpikir ulang tentang definisi terbaik. Mungkin yang terbaik adalah yang bertahan di dalam hati kita masing-masing meskipun ada orang lain yang tidak menyukainya. Bukan berdasarkan hasil perhitungan angka mayoritas.

You Might Also Like

0 comments