Saat scrolling
timeline Instagram dan Twitter, gue gak sengaja nemuin satu judul serial yaitu Thirteen Reasons Why yang diunggah oleh
temen-temen gue. Karena bendera agung Netflix, gue yang tadinya tak begitu
tertarik langsung mencari cara untuk bisa menonton serial ini. Kepuasan menonton
Stranger Things dan Narcos yang sungguh “wow” adalah alasan
kenapa gue percaya serial ataupun film buatan Netflix itu selalu sukses. Tanpa
basa basi, gue pun langsung mulai menonton Thirteen
Reasons Why.
Gue selalu tertarik dengan konsep yang segar dan segala
inovasi baru dalam menceritakan sebuah kisah, seperti yang ditampilkan Thirteen Reasons Why. Serial ini sudah berhasil
mengikat gue sebagai penonton dari episode pertama, dan langsung memaksa gue
untuk segera menghabiskannya. Pada dasarnya plot serial ini sederhana: hanya menceritakan
13 tape yang berisi alasan mengapa Hannah Baker melakukan bunuh diri. Sederhana, bukan? Tapi tidak dengan karakter
di dalamnya.
Solid, Kokoh, Berkembang,
Ya, karakter dalam serial ini punya banyak poin plus yang
bisa dibanggakan sebagai sebuah sajian berseri. Menurut gue sebuah serial yang
berhasil adalah serial yang bisa membuat kita percaya bahwa karakter itu hidup
dan nyata. Itu juga yang gue rasakan ketika nonton Breaking Bad yang gue nobatkan sebagai Serial Maha Sempurna. Kalau
lo udah nonton Thirteen Reasons Why, tapi
belum sampai tape terakhir, gue yakin lo akan mulai mengerti mengapa karakter
dalam serial ini diciptakan seperti itu ketika sudah sampai di tape 13.
Selain karakter yang mengagumkan, kelebihan utama dalam
serial ini sudah jelas tentang isu bullying
dan juga sexual harassment dalam
kehidupan remaja, khususnya SMA di Amerika. Impresi gue saat selesai menonton
serial ini adalah ketakutan akan sekolah di Amerika. I don’t know why, but they’re seems not kind at all. Mudahnya merendahkan
seseorang dan ketika yang populer menjadi raja adalah kengerian yang bisa gue
bayangkan sebagai Hannah Baker. Terlebih dengan budaya barat yang memuja
privasi, yang menyebabkan sulitnya untuk bercerita dengan orang tua sendiri. Pada
akhirnya kita mengerti apa isi hati Hannah Baker (thanks to Clay Jensen).
Sebagai penutup, gue hanya berdoa agar serial ini tak
dilanjutkan.
You know why if you
already watched it.